Oke. Dalam beberapa saat saya mikir apa harus menulis reviewnya sekarang atau nunggu besok saja. Tapi saya pikir tulis saja lah mumpung masih hangat di kepala. Meskipun saya merasa lumayan capek malam ini.
Kalau boleh cerita sedikit, kemarin saya ujian mata kuliah yang saya harap ini kali terakhir saya berurusan sama dosennya, Patologi Klinik. Serius, ini adalah ujian paling susah payah untuk dikerjain selama saya kuliah karena kami terpaksa mundur jauh dari jadwal UTS kami yang sudah lewat berminggu-minggu lalu. Baru saat minggu tenang UAS seperti ini kami dijadwalkan ujian. Sampai sekarang saya nggak tahu alasan jelasnya beliau menunda sejauh ini ujian kami. Selain di mundur jauh, kemarin pun ujiannya juga terlambat 90 menit dari janjinya. Syukurnya sih saya bisa mengerjakan. Yah, semoga nilainya sesuai yang saya harapkan. Cukup tentang saya kemarin, sekarang saatnya untuk Supernova.
Perhatikan deh. This poster explains the whole story |
Seperti yang sudah saya tulis dalam postingan saya sebelumnya disini tentang film yang saya tunggu-tunggu di bulan Desember. Ya, salah satunya tayang perdana kemarin yaitu Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Film ini diangkat dari sebuah novel berseri berjudul sama yang terkenal akan gabungan science fiction-nya dan banyak diperbincangkan sejak cetakan pertamanya muncul di toko buku. Untuk sinopsis dan trailer cari sendiri yah.
Buat saya film ini memusingkan dalam arti baik. Saya sudah sangka sih sebenarnya saat jadi film, Supernova menjadi film mikir. Persis seperti saat saya membaca novelnya dulu. Berbagai istilah ilmiah, koneksi antar karakter dan apa yang menghubungkan, serta bahasa Indonesia yang baku, membuat film ini selevel lebih tinggi dari film Indonesia kebanyakan. Sebenarnya ceritanya sederhana hanya tiga orang yang terjebak cinta segitiga. Tapi dasar dan latar belakang dari keseluruhan rentetan seri Supernovanya yang membuat rumit.
Kepusingan saya terobati sebenarnya dengan (lagi-lagi) sinematrografi ciri khas Rizal Mantovani. Landscape indah dan gedung pencakar langit yang gagah akan mengingatkan kita kembali dengan suguhan Gunung Semeru-nya di film 5 Cm yang benar-benar cantik. Meski begitu beberapa kali saya melihat scene yang menurut saya sangat video clip seperti slow motion saat Ferre mau bunuh diri.
Kalau soal akting, entah kenapa saya tertarik dengan Arifin Putra. Di beberapa film terakhirnya, sepertinya Arifin Putra memilih peran yang menantang dan berbeda. Kali ini Ia menjadi seorang gay jenius yang bersama dengan pasangannya membuat kisah cinta segitiga yang tak diduga benar ada di dunia nyata. Arifin Putra benar-benar mewakili sosok Reuben yang pintar dan cerdas sesuai dengan yang ada di novel. Gaya bicara dan body language-nya menurut saya divisualisasikan dengan baik.
i am #teamreuben |
Bagi yang sudah punya novelnya, saran saya baca lagi deh sekilas sebelum pergi ke bioskop. Saya merasa ada yang kurang dan hilang dari novelnya di film ini tapi saya lupa apa. Novel Supernova saya yang pertama ada di rumah Pamulang sih jadi tidak bisa saya baca lagi, hehe. Soal percakapan dan setting di novel saya kira sudah ditangani dan digambarkan dengan sangat baik oleh sang Sutradara. Bagi yang belum pernah baca novelnya, saya sarankan lebih fokus saat menonton apalagi di 15 menit terakhir banyak adegan yang dibolak-balik dan membuat kita penonton harus berusaha menyatukan scene-scene sebelumnya yang berhubungan dan membuat konklusi. Percakapannya yang tak biasa mungkin akan membuat bosan tapi bukankah itu yang membedakan film ini dengan film lainnya?
Well pals, selamat berdiskusi dan membandingkan yah! Happy Weekend!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar