Hashtag ini gue buat kurang lebih dua jam yang lalu di akun Twitter dan Facebook gue. Baru saja. Hashtag ini berangkat dari perbincangan cantik di malam minggu tadi (cantik karena cewek semua yang kumpul) dan status salah seorang teman di instant messenger yang berbunyi kurang lebih begini "Sayang ane gak ngepet. Jadi ketinggalan gosip". Pasti sudah tahulah ya arah pembicaraannya kemana.
Sudah beberapa tahun terakhir ini semenjak munculnya media sosial Friendster, yang namanya update status telah menjadi hal yang wajib dilakukan. Apalagi saat jamannya Facebook dan Twitter muncul, kewajiban alias kebiasaan ini semakin menjadi. Isi statusnya juga semakin beragam. Sudah tidak lagi tentang aktivitas ataupun isi pikiran tapi juga isi hati mulai diutarakan lewat sana. Isi hati, iya isi hati.
Akibat kebiasaan kita sebagai pengguna media sosial memanfaatkan update status untuk mencurahkan isi hati, timbullah kebiasaan baru yang namanya stalking. Stalking yang artinya menguntit menjadi salah satu cara sebagian orang untuk mencari tahu tentang seseorang lewat media sosial. Stalking ini dilakukan siapa saja. Biasa dilakukan oleh pacar yang ingin tahu isi pikiran dan perasaan pasangannya yang mungkin tidak ia ketahui, dilakukan oleh musuh yang ingin tahu lebih tentang rivalnya, sampai orangtua modern yang ingin tahu anaknya sedang ngapain aja.
Hal pribadi semakin menjadi konsumsi publik. Tidak ada lagi yang membatasi privasi. Path memiliki konsep eksklusif untuk melindungi keresahan kita akan privasi yang terganggu dan ingin diketahui orang, menjadi pilihan banyak orang untuk digunakan. Jadi jangan heran kalau timeline Facebook dan Twitter kita mulai diisi update-linked dari Path. Tapi ternyata Path juga belum bisa menjadi alternatif tempat "curhat" yang aman untuk penggunanya.
Media sosial memang ditujukan untuk publikasi dan dibaca oleh khalayak umum, jadi mau tidak mau itu juga menjadi resikonya. Iya, resiko kita dikepo-in sama orang lain. Tapi kenapa masih diterusin yah? Menurut gue, hal ini dikarenakan timbulnya sifat narsisme yang semakin meningkat bersama dengan perkembangan media sosial yang meningkat juga. Eksistensi kita menjadi sangat penting. Tapi ini wajar. Maksudnya, ini sudah jadi salah satu hal sebab-akibat yang harus dilalui dan dialami oleh generasi kita sekarang. Jaman makin canggih, dan kita secara dipaksa atau terpaksa harus mau ikut serta.
#kembalikanbukudiary menunjukkan keresahan gue akan banyaknya dampak negatif yang kita dapat kalau terlalu banyak menaruh hati dan perasaan di media sosial. Ada yang berantem, suudzon, sampai jadi anti sosial karena masalah status. Gue nggak munafik. Gue mengakui kalau gue juga suka curhat di media sosial. Tapi semenjak gue menyadari apa yang gue dapat dari tindakan gue yang terlalu pakai perasaan adalah negatif, saat ini gue sedang mengurangi. At least pakai bahasa yang lebih baik dan samar. Lebih mikir kalau mau nulis atau post sesuatu. Jangan bohong deh kalau terkadang kita berharap apa yang kita tulis di media sosial dibaca oleh seseorang atau siapapun itu alias menyindir atau kode. Karena gue pun merasakan itu kadang-kadang.
Sebenarnya sih nggak apa cuma kalau tujuannya ribut sama orang lain gue harap kalian mikir berkali-kali. Berantem yang disebabkan tulisan kita di media sosial itu sama sekali nggak enak. Lebih nggak enak daripada nantang langsung berhadap-hadapan. Begini, saat kita mikir berkali-kali apakah yang akan kita tulis benar-benar perlu dan harus masuk ke media sosial, sama saja kita sedang belajar untuk sedikit demi sedikit mengontrol emosi diri sendiri. Nggak percaya? Coba saja.
Sekali lagi ya, gue bukan orang suci. Gue juga pernah curhat sedih, kesel, dan sebagainya di media sosial. Tapi semakin kesini pastilah pikiran kita semakin terbuka dan berkembang. Cukup dikurangi saja dulu karena kita tidak bisa menolak kalau terkadang ada beberapa hal yang tidak bisa kita utarakan ke orang lain dan hanya media sosial atau media lain yang tak berindera yang bisa mendengarkan. I really know well how it feels like.
Hidup itu kan belajar, jadi mari sama-sama belajar. Belajarnya bisa dimulai dengan kembali menulis buku diary lagi. Buku hati yang hanya kita sendiri dan Tuhan yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar