Siapa Dia

Kamis, 12 Juni 2014

Jadi Si Positif

Nah, ini yang susah. Kalau jadi orang positif sesederhana minus dikali minus, mungkin nggak akan ada yang namanya neraka karena saat keburukan ditabrakan dengan keburukan akan selalu jadi kebaikan. Nggak sih menurut gue. Jadi si positif lebih rumit dan lebih susah daripada jadi si negatif. Nggak percaya? Cobain deh.

Topik ini sebenernya sudah cukup sering gue bahas di twitter (@plarasari), gue diskusikan dengan keluarga, dan teman-teman. Tapi saat ini sepertinya gue ingin lebih menggamblangkan pendapat gue bahwa penting seada-adanya buat kita jadi orang positif. Mari dimulai dengan pendapat gue tentang apa itu Si Positif.

Si Positif adalah seseorang yang didalam tindak tanduknya selalu menjungjung tinggi rasa optimis dan meminimalkan berprasangka dan berpikiran buruk tentang orang-orang disekitarnya.

Kalian yang selalu bilang diri kalian optimis, berpikiran terbuka, biasa bergaul dengan orang lain, belum tentu punya sifat si positif ini. Coba deh ngaca lagi, tarik lagi pikiran kalian ke belakang tentang apa yang sudah kalian lakukan. Benarkah sudah menjunjung tinggi rasa optimis dan meminimalkan prasangka buruk pada orang lain?

Pandangan gue tentang si positif ini berawal dari bincang-bincang antara gue dengan Papa tercinta. Ritual ngobrol di meja makan after dinner, diskusi di mobil saat perjalanan, atau di kamar gue setelah gue (dulu) ngerjain PR dan belajar sudah biasa di keluarga gue. Memang Papa adalah seorang yang begitu hangat dan penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya. Jadi nggak ada tuh yang namanya kaku-kakuan, malu, dll ke Papa. Beliau demokrasi bangetlah (biasa.. dulunya GMNI --terus? hahaha).
Balik lagi ke bincang-bincang antara gue-Papa tentang si positif. Waktu itu kami berdua ngobrol ngalor ngidul dan apa saja. Gue lupa detailnya, cuma waktu itu akhirnya nyangkut ke bagaimana kita memperlakukan orang lain. Papa punya teori seperti ini:

Apapun yang orang lain lakukan pada kita sebenarnya adalah bentuk perspektif individu kita masing-masing untuk menanggapinya. Masalah akan ada bila kita menganggap itu masalah, begitu pula sebaliknya. Jadi, kalau kita menerima perlakuan buruk seseorang, adalah tergantung keputusan kita apakah yang mereka lakukan itu perlu diributkan atau tidak. Kalau keputusan kita alias perspektif kita positif, itu bukan masalah. Sebaliknya, kalau kita berpandangan itu negatif, berantemlah pasti.

Sudah jelaslah ya maksudnya gimana lewat tulisan diatas. Ringkasnya, kita sendiri yang memutuskan mau marah atau tenang. Teman-teman disekitar kalian mungkin akan bilang betapa bodohnya kalian tidak membalas perlakuan orang tersebut. Kalian tidak bodoh hanya karena memilih menjadi si positif. Kalian tidak apatis dan cuek dalam menanggapi sesuatu. Kalian hanya punya perspektif yang berbeda dalam melihat suatu masalah. "Ah, biarin aja. Karma will take the rest" --as simple as that, guys. Anggap saja kalian yang salah tanpa harus memusingkan siapa yang perlu minta maaf. Menjadi orang baik itu mudah tapi kuncinya cuma satu, punya si positif ini.

Oh iya, soal optimis yang gue singgung di awal. Jangan bilang lo orang yang optimis kalau lo belum pernah dan berani bertindak besar, berpikir besar, saat yang lo punya hanya keterbatasan. Gue pernah menghadapi orang yang pikirannya keras sekali untuk berani ambil resiko dan bertindak besar. Padahal dia cukuplah pengalamannya dalam mengerjakan proyek. Gue yakin dia nggak secetek itu untuk jadi pesimis. Tapi ternyata dia begitu. Penyebabnya cuma satu, dia lebih memilih menjadi si negatif yang melihat dari perspektif yang salah, at least yang berbeda dari gue. Hehe.
Dia sih bilangnya waktu itu, dia bukannya pesimis tapi realistis. Gue sih kurang bisa menerima karena gue punya pendapat yang berbeda. Menurut gue, realistis adalah menerima dan sadar dengan yang dipunya dan dihadapi depan mata. Beda dengan pesimis. Pesimis menurut gue adalah prasangka negatif kita terhadap apa yang dipunya dan dihadapi depan mata. Kenapa harus pesimis kalau realita yang kita punya bisa didorong sampai maksimal? Kalau kita mau, kita bisa punya realita terbatas tapi maju. Kenapa nggak?

Gue sih bukan pengen ngajarin. Gue cuma pengen berbagi ke kalian pelajaran yang telah gue dapat dan sampai saat ini masih gue pelajari. Susah emang tapi kita harus punya reminder di diri kita masing-masing. Nggak bisa harus diingatkan terus menerus. Nih ya, nggak ada orang yang suci, nggak ada orang yang benar-benar baik. Gue pun begitu. Didalam diri kita sendiri kita juga tahu kalau ada sisi malaikat dan setan. Hanya saja, kembali ke diri kita masing-masing, mana yang mau ditonjolkan dan dieksplorasi lagi. Mau si positif atau si negatif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar